ArtikelPendidikan

Dari Ruang Kelas ke Ruang Digital: Pendidikan Inklusif sebagai Solusi Mendasar Melawan Cyberbullying

366
×

Dari Ruang Kelas ke Ruang Digital: Pendidikan Inklusif sebagai Solusi Mendasar Melawan Cyberbullying

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi seseorang merasa sedih saat menyaksikan praktik perundungan (cyberbullying) di media sosial melalui layar komputer.

Di ruang digital yang penuh dengan ujaran kebencian dan intimidasi, nilai-nilai inti dari pendidikan inklusif justru muncul sebagai benteng paling kokoh untuk membentuk generasi yang lebih empatik dan beradab.

LELUASA.COM, Jakarta – Statistik cyberbullying di Indonesia terus menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2023 mencatat bahwa hampir 50% pengguna internet pernah mengalami perundungan dunia maya dalam berbagai bentuk. KemenPPPA mencatat bahwa korban cyberbullying mayoritas berasal dari kelompok usia 18–25 tahun (57%), diikuti oleh anak-anak di bawah usia 18 tahun (26%). Di tengah upaya penanggulangan secara teknis dan hukum, para ahli pendidikan justru melihat solusi fundamentalnya terletak pada sebuah pendekatan yang sudah ada: Pendidikan Inklusif.

Bullying atau bisa juga disebut dengan perundungan merupakan sebuah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, maupun sosial yang dilakukan di dunia nyata. Cyberbullying (perundungan dunia maya) ialah bullying/perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Tindakan tersebut dilakukan berulang kali dan terdapat perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban. Perbedaan kekuatan dalam hal ini merujuk pada sebuah persepsi terhadap kapasitas fisik dan mental, selain itu perbedaan kekuatan juga terdapat pada jumlah pelaku dan korban.

Menurut Edwards dalam (Bulu et al., 2019) bullying paling sering terjadi pada masa-masa SMA dikarenakan pada masa ini remaja memiliki egosentrisme yang tinggi. Egosentrisme menurut Khadijjah merupakan suatu perasaan yang berfokus pada diri individu, atau individu yang memiliki perasaan bangga dan hanya memikirkan dirinya sendiri (Novitasari & Prastyo, 2020). Piaget mengemukakan bahwa egosentrisme remaja ditandai dengan ciri-ciri bahwa remaja merasa segala sesuatu masih terpusat pada dirinya (Marinda, 2020).

Menurut Olweus pada tahun 1993 dalam (Dwiputra, 2022) bullying merupakan perilaku agresif atau perilaku merusak yang disengaja dan hal tersebut terjadi berulang-ulang sepanjang waktu pada hubungan interpersonal. Sedangkan menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak Bullying adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang lain.

Dalam pendidikan inklusif seringkali disempitkan pada pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Padahal, esensinya jauh lebih luas: menciptakan lingkungan belajar yang menghargai keberagaman, mempromosikan empati, dan menolak segala bentuk diskriminasi. Nilai-nilai inilah yang menjadi tameng paling efektif melawan akar persoalan cyberbullying.

Analisis fenomena sosial yang terungkap melalui kasus cyber-bullying terhadap Zahran, seorang mahasiswa berprestasi tinggi dari ITB yang tampil dalam ajang Clash of Champions (COC) 2025. Akar permasalahannya terletak pada tiga titik kritis. Pertama, hegemoni budaya visual di era digital yang telah menggeser apresiasi publik dari substansi (prestasi intelektual) ke penampilan fisik (physical appearance), menciptakan sistem nilai yang timpang dan dangkal.

Kedua, terjadinya ketidakseimbangan penilaian yang ekstrem, di mana capaian akademik yang gemilang dengan mudah dikalahkan oleh kritik subjektif terhadap tampilan, mencerminkan bentuk penindasan simbolik (symbolic violence) di ruang digital. Ketiga, fenomena ini didorong oleh “crab mentality” atau mentalitas kepiting dalam masyarakat, yaitu kecenderungan untuk menjatuhkan individu yang dianggap terlalu menonjol atau sukses sebagai mekanisme pertahanan diri akibat rasa inferioritas.

Selain itu, kasus tragis kematian mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Udayana tentu tidak hanya meninggalkan duka mendalam namun juga memantik keprihatinan serius terhadap budaya perundungan digital di lingkungan akademik. Menanggapi hal ini, pihak Kampus mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan kecaman resmi dan menugaskan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan untuk menindaklanjuti keterlibatan mahasiswa.

Tidak berhenti di situ, organisasi kemahasiswaan terkait juga memberikan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada oknum terlibat, menunjukkan komitmen institusional untuk menciptakan lingkungan kampus yang bebas dari kekerasan verbal dan perilaku tidak etis di ruang digital.

Kedua masalah ini secara bersama-sama tidak hanya merugikan korban secara psikologis, tetapi juga berpotensi membatasi partisipasi publik para talenta potensial dan pada akhirnya menghambat iklim kemajuan intelektual bangsa, kasus ini menjadi contoh kelam bagaimana budaya toxic di dunia maya dapat memperparah luka sebuah tragedi, sekaligus menguji komitmen komunitas akademik dalam menjaga martabat kemanusiaan bahkan di saat duka.

“Cyberbullying tumbuh subur di tanah yang gersang empati dan toleransi. Pelaku seringkali memandang ‘perbedaan’ entah itu latar belakang, fisik, pendapat, atau kondisi ekonomi sebagai cela yang pantas untuk diserang,” tegas Dr. Maya Sari, Pakar Pendidikan Inklusif dari Universitas Negeri Jakarta, dalam wawancara eksklusif dengan EduktaNesia.

Dari peta respons global terhadap cyberbullying, setiap negara maju menawarkan pelajaran strategis yang berharga. Amerika Serikat mengajarkan tentang kompleksitas hukum di era digital melalui sistemnya yang terfragmentasi tanpa undang-undang federal tunggal, pertarungan melawan cyberbullying terserak di 50 negara bagian dengan aturan berbeda, menciptakan kekacauan yurisdiksi di mana konsekuensi hukum untuk tindakan yang sama bisa berbeda antara California dan Texas.

Namun, dari kerumitan ini lahir inovasi seperti “Grace’s Law” di Maryland yang secara tegas mengkriminalisasi cyberbullying berat, memberikan pelajaran bahwa regulasi yang kuat dan spesifik memang diperlukan, namun harus jelas, konsisten, dan berlaku secara nasional agar penegakan hukum tidak seperti menangkap kabut.

Sementara itu, Uni Eropa, dengan Jerman sebagai pelopor melalui undang-undang NetzDG-nya, mengambil pendekatan berbeda dengan menyerang akar masalah melalui kewajiban hukum yang berat bagi platform digital platform sosial diwajibkan menghapus konten ilegal termasuk ujaran kebencian dan ancaman dalam 24 jam atau menghadapi denda miliaran rupiah.

Di sisi lain, Finlandia menawarkan solusi yang lebih cerdas dan preventif melalui program “KiVa”, yang tidak berfokus pada hukuman, tetapi pada mengubah dinamika sosial di sekitar korban dengan mengubah “saksi diam” (bystanders) menjadi “pembela aktif” melalui game interaktif dan modul sekolah, sehingga berhasil mengurangi bullying hingga 40% di sekolah-sekolah yang menerapkannya.

Filosofi ini menunjukkan bahwa investasi terpenting bukanlah pada teknologi pemantauan, melainkan pada pendidikan karakter dan empati digital sejak dini. Australia melengkapi pendekatan ini dengan membentuk otoritas khusus bernama eSafety Commissioner yang berfungsi sebagai “satgas digital” dengan tiga tugas utama menerima pengaduan, memaksa penghapusan konten, dan mengedukasi publik, sehingga menjadi “pelabuhan tunggal” yang efisien bagi korban dan mengatasi kebingungan dalam melapor. Keberhasilan lembaga ini memberikan pelajaran bahwa penanganan cyberbullying membutuhkan otoritas khusus yang terpusat, responsif, dan multidisiplin.

Namun, di balik berbagai capaian tersebut, negara-negara maju pun masih bergulat dengan tantangan universal yang belum terjawab, termasuk dilema kebebasan berekspresi versus perlindungan yang mempertanyakan batas antara kritik dan bullying serta siapa yang berhak menilai, jurang digital antargenerasi yang membuat orang tua dan guru sering tertinggal dalam literasi digital dibandingkan anak didik mereka, serta masalah dukungan kesehatan mental pasca-trauma yang masih menjadi barang mewah di banyak sistem kesehatan, menunjukkan bahwa perlindungan di dunia digital tidak hanya membutuhkan kebijakan dan teknologi, tetapi juga pendekatan manusiawi yang holistik dan berkelanjutan.

Pendekatan ini menggeser paradigma dengan menempatkan platform bukan sebagai perantara netral, melainkan sebagai penerbit yang bertanggung jawab, memberikan pelajaran krusial bagi Indonesia yang sedang merancang UU Perlindungan Data bahwa regulasi harus mampu memaksa platform teknologi untuk menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar fasilitator masalah.

Mapping the Way Forward untuk Indonesia

Dari peta global tersebut, Indonesia dapat merancang strategi komprehensif dengan menerapkan sistem regulasi hybrid yang menggabungkan ketegasan hukum ala Eropa yang meminta pertanggungjawaban platform atas konten berbahaya dengan pendekatan edukatif preventif ala Finlandia. Langkah konkretnya termasuk mengamandemen RUU Perlindungan Data dan UU ITE secara spesifik untuk mencakup cyberbullying dengan definisi yang jelas serta sanksi yang proporsional.

Di sisi kelembagaan, diperlukan pembentukan otoritas khusus setingkat “Komisioner Keamanan Digital Indonesia” yang memiliki kewenangan investigasi, edukasi, dan koordinasi dengan kepolisian untuk menangani kasus secara responsif dan terpadu. Pada level pendidikan, kurikulum empati digital perlu diintegrasikan ke dalam Kurikulum Merdeka, berfokus pada pengembangan empati, literasi media, dan ketangguhan psikologis sejak jenjang dasar.

Secara kultural, upaya ini harus diperkuat oleh kampanye massif berbasis budaya melalui konten kreatif di platform seperti TikTok dan Instagram, serta kolaborasi dengan pesantren, ormas, dan tokoh budaya untuk mengubah norma sosial dan menciptakan ekosistem digital yang lebih beradab dan inklusif.

Membangun Benteng Digital: Langkah Konkret Indonesia Hadapi Cyberbullying

Dalam upaya membangun pertahanan yang efektif melawan cyberbullying, Indonesia dapat merumuskan strategi unggulan dengan memetakan pelajaran berharga dari negara-negara maju. Dari Amerika Serikat, kita belajar bahwa fragmentasi hukum menciptakan kelemahan struktural, sehingga regulasi nasional yang spesifik dan konsisten menjadi kebutuhan mendesak, misalnya melalui amendemen UU ITE dan RUU Perlindungan Data Pribadi yang memperjelas definisi dan sanksi cyberbullying.

Namun, ketegasan hukum saja tidak cukup. Kita perlu mengadopsi pendekatan hybrid yang juga menyertakan kewajiban hukum bagi platform digital, sebagaimana diajarkan Jerman dengan NetzDG-nya, di mana platform diwajibkan bertindak proaktif menghapus konten berbahaya atau menghadapi denda berat sebuah langkah untuk mengubah platform dari sekadar fasilitator menjadi bagian dari solusi.

Sementara dari sisi pencegahan, Finlandia menawarkan model paling cerdas melalui program KiVa, yang membuktikan bahwa intervensi paling efektif justru terletak pada pendidikan karakter dan empati digital yang mengubah “saksi diam” menjadi “pembela aktif,” sehingga investasi dalam kurikulum literasi digital dan psikososial di sekolah harus menjadi prioritas.

Untuk mengintegrasikan seluruh upaya ini secara operasional, Indonesia perlu membentuk otoritas khusus setingkat Komisioner Keamanan Digital, terinspirasi dari kesuksesan eSafety Commissioner Australia, yang berfungsi sebagai satu pintu pelaporan, penegakan, dan edukasi yang responsif. Meskipun tantangan universal seperti dilema kebebasan berekspresi, jurang digital antargenerasi, dan terbatasnya dukungan kesehatan mental tetap ada, langkah-langkah strategis ini yang menggabungkan regulasi tegas, pendidikan preventif, dan kelembagaan yang kuat dapat membentuk ekosistem digital Indonesia yang tidak hanya lebih aman, tetapi juga lebih beradab dan berempati.

Kesimpulan:

Cyberbullying adalah gejala dari penyakit sosial yang lebih besar: degradasi empati di dunia yang semakin terhubung namun semakin terpisah. Negara maju mengajarkan bahwa solusi teknis dan hukum saja tidak cukup. Kita perlu membangun budaya digital yang beradab, dimulai dari ruang kelas, diperkuat oleh regulasi yang jelas, dan didukung oleh kesadaran kolektif bahwa di balik setiap akun anonim ada manusia dengan perasaan yang bisa terluka.

Perang melawan cyberbullying bukan perang melawan teknologi, melainkan perang untuk memanusiakan kembali ruang digital. Dan dalam perang ini, senjata terkuat kita bukanlah algoritma canggih atau hukuman berat, melainkan pendidikan yang membangun karakter, regulasi yang berkeadilan, dan keberanian untuk peduli saat orang lain memilih untuk diam. Indonesia, dengan kekayaan nilai gotong royong dan kekeluargaannya, sebenarnya memiliki modal sosial yang tepat tinggal bagaimana menerjemahkannya ke dalam aksi nyata di dunia digital.

Penulis: Muhammad Faizullah
Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Ardi Handayat, Tim LELUASA.com