ArtikelPendidikan

Bullying sebagai Praktik Kekuasaan dalam Lookism

150
×

Bullying sebagai Praktik Kekuasaan dalam Lookism

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi seorang dibully. (Dok. Unsplash)

LELUASA.COM, Tangsel — Salah satu dampak paling nyata dari lookism adalah munculnya praktik bullying yang dilegitimasi oleh standar penampilan. Bullying dalam konteks lookism tidak selalu berbentuk kekerasan fisik, tetapi sering kali hadir melalui ejekan verbal, pengucilan sosial, serta stigma yang dilekatkan pada individu berdasarkan tubuh dan wajah mereka. Penampilan menjadi alasan yang dianggap sah untuk merendahkan orang lain.

Dalam masyarakat visual, individu yang tidak memenuhi standar kecantikan dominan kerap dijadikan objek hinaan. Tubuh yang dianggap “tidak ideal” dilabeli sebagai sesuatu yang pantas ditertawakan, dikomentari, atau diperbaiki. Bullying semacam ini bekerja secara sistematis karena didukung oleh norma sosial yang menormalisasi penilaian fisik. Akibatnya, pelaku bullying sering kali tidak merasa bersalah, sementara korban dipaksa menerima perlakuan tersebut sebagai sesuatu yang wajar.

Webtoon Lookism karya Park Tae-joon menunjukkan dengan jelas bagaimana bullying sering kali berakar dari cara masyarakat memandang penampilan fisik. Tokoh utama, Park Hyung-seok (Daniel Park), mengalami perundungan sejak awal cerita karena tubuh dan wajahnya dianggap tidak menarik. Ia dihina, dijauhi, bahkan mengalami kekerasan fisik. Semua itu terjadi bukan karena sikap atau kesalahannya, tetapi semata-mata karena penampilannya.

Menariknya, ketika Hyung-seok tiba-tiba memiliki tubuh baru yang tampan dan sesuai dengan standar kecantikan, perlakuan orang-orang di sekitarnya berubah drastis. Tanpa harus berbuat banyak, ia langsung diterima, dipuji, dan dihormati. Perubahan ini memperlihatkan bahwa bullying dalam Lookism bukan soal siapa seseorang sebenarnya, melainkan bagaimana ia terlihat di mata orang lain. Penampilan menjadi penentu utama posisi sosial.

Webtoon ini juga menggambarkan bahwa pelaku bullying sering datang dari kelompok yang merasa lebih unggul secara fisik dan sosial. Dengan modal penampilan dan popularitas, mereka merasa punya kuasa untuk merendahkan orang lain. Bullying pun menjadi cara untuk menunjukkan dominasi dan menjaga hierarki sosial tetap berjalan seperti biasa.

Yang menarik, Lookism tidak berhenti pada kisah korban yang “berhasil” karena berubah menjadi tampan. Cerita ini justru menunjukkan bahwa selama standar penampilan masih dijadikan ukuran nilai manusia, bullying akan terus ada. Kekerasan hanya berpindah sasaran, bukan benar-benar hilang. Dari sini, Lookism mengajak pembaca untuk melihat bahwa masalah utamanya bukan tubuh tertentu, melainkan sistem sosial yang terlalu mengagungkan penampilan.

Penulis: Yoga
Mahasiswa Universitas Pamulang

Editor: Ardi Handayat, Tim LELUASA.com